Titik Balik Hidupku: Menanggalkan Belenggu Diri dan Sesama Perempuan
Laki-laki dan perempuan sebagai partner setara ibarat bulan dan bumi atau bumi dan matahari yang masing-masing berjalan sesuai porosnya
Andi Sri Wulandani Thamrin

Saya seorang ibu dua anak dengan status orang tua tunggal. Pada tahun 2001 saya menikah dengan seorang laki-laki Muslim Syiah. Darinya saya mempelajari dan menjalankan fiqih Syiah sejak itu. Namun pernikahan kami harus kandas karena tidak mendapat restu orang tua. Cara pandang kami tidak sejalan dengan cara pandang keluarga kami, sehingga kami menempuh jalan sendiri dan sempat bertahan. Sayangnya karena tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan, akhirnya saya dan suami bergantung kepada orang tua kami. Ketidakharmonisan hubungan antara kami dan orang tua akibat pernikahan yang tidak direstui akhirnya membuat saya dan suami harus berpisah.
Dalam membebaskan diri dari belenggu-belenggu dan dilema pikiran saat itu, saya mulai menambah wawasan mengenai feminisme. Seakan punya kekuatan baru, pertanyaan-pertanyaan saya yang tidak terjawab kini tercerahkan. Pertanyaan-pertanyaan seperti, mengapa perempuan banyak diam dalam rumah tangga, seolah nrimo keadaannya saja meski hati dan pikirannya berlawanan? Mengapa laki-laki selalu didahulukan keputusannya dan perempuan tidak dapat membantahnya?
Dengan mengkaji gender dan feminisme, saya memahami ada relasi kuasa yang terbangun antara laki-laki dan perempuan. Sebab laki-laki yang dianggap sebagai pencari nafkah kerap membangun otoritas dan menempatkan perempuan yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga dalam posisi lebih rendah atau subordinat. Dalam hal pengetahuan, laki-laki selalu merasa lebih banyak tahu dan ahli dibanding perempuan sehingga mereka mengambil peran-peran penting dan menguasai kedirian perempuan. Bahkan masa depan perempuan terdikte laki-laki ketika mereka berumah tangga. Dengan belajar konsep gender dan teori feminisme, saya akhirnya dapat membangun diri kembali di tengah permasalahan rumah tangga.
Semangat saya mempelajari diskursus gender dan feminisme turut dipicu terpilihnya saya sebagai Ketua Korps Himpunan Mahasiswa Islam–Wati (KOHATI) cabang Makassar Timur. Wawasan tersebut menjadi bermanfaat dalam memberi ceramah ke adik-adik mahasiswa baik itu di dalam kampus saya sendiri maupun di luar kampus.
Dalam perjalanan ini, saya banyak bertemu organisasi-organisasi perempuan Islam seperti Ikatan Mahasiswa Puteri Muhammadiyah (IMMawati), Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI), dan Hizbut Tahrir. Saya banyak menjumpai mereka di forum-forum dan berdialektika dengan mereka mengenai isu gender dan perempuan.
Cerita ini selengkapnya dapat dibaca pada buku “She Builds Peace Indonesia: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara”
