Awalnya Terpicu Ibu, Kudampingi Korban KDRT dan Kekerasan Seksual
“Makin banyak perempuan dengan kepekaan sosial tinggi, makin banyak yang berdaya dan berani, sehingga semakin baik untuk kehidupan kita.”
Kustiah

Ibuku bergegas melangkahkan kakinya ketika terdengar teriakan di belakang rumah kami. Aku mengikuti gerak kaki Ibu yang setengah berlari dengan memegangi roknya sambil menahan takut. “Apa yang akan dilakukan ibuku?” batinku.
Sampai di depan pintu rumah tetanggaku yang terbuka, terlihat Lek Kasim (bukan nama sebenarnya) memegang kendi dan menghantamkan ke kepala istrinya yang tengah memangku bayi. Ibuku berteriak.
“Istighfar Kang, nyebut!” ujar ibuku sambil memasuki rumah mendekati Lek Kasim. Istrinya Lek Kasim, Rany (bukan nama sebenarnya), menangis sambil mengguncangkan dan menepuk pantat anaknya yang berumur tiga bulan di pangkuannya.
”Kowe ra sah ikut campur urusanku (Kamu nggak usah ikut campur urusanku),” ucap Lek Kasim kepada Ibu yang tak gentar. Ia mendekati Rany, memberinya minum dan membuntuti Lek Kasim yang masih tampak emosi.
”Lha nek ra urusanku, nek bojomu mati opo muk dadi urusanmu? Mesakke Rany, Kang, ibune anak-anakmu. Kalau ini bukan urusanku, kalau istrimu meninggal apakah juga hanya akan menjadi urusanmu? Kasihan Rany, Kang, ibu dari anak-anakmu,” kata ibuku setengah lantang.
Itulah sepenggal cerita kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kuingat saat usiaku sekitar 8 tahun.
Cerita ini selengkapnya dapat dibaca pada buku “She Builds Peace Indonesia: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara”
