Menguatkan diri dan Korban Terorisme Yang Terstigma
...masyarakat yang menomorduakan perempuan dapat menjerumuskan mereka ke dalam kemalangan seperti jaringan terorisme
Mega Priyanti

Saya lahir dari keluarga yang kental dengan patriarki. Akibatnya saya tumbuh menjadi anak perempuan pendiam serta tidak berani berpendapat. Bahkan saat mengalami beberapa kali pelecehan seksual saya tidak berani bercerita kepada siapa pun. Menyalahkan diri sendiri dan menganggap bahwa tubuh ini kotor karena mengundang nafsu laki-laki adalah dampaknya.
Tumbuh dalam keluarga yang mengagungkan kekuasaan laki-laki juga merugikan relasi sosial saya. Suatu saat ketika masih kuliah, ayah mengetahui saya dekat dengan seorang teman laki-laki Nasrani. Ayah sangat marah dan segera menikahkan saya dengan teman laki-laki lain yang saat itu dekat dengan keluarga kami. Setelah menikah, saya merasa ada yang salah dalam konsep berkeluarga kami.
Hingga akhirnya wawasan saya terbuka secara tidak sengaja setelah bergabung dengan kelompok Suara Ibu Peduli (SIP) di tahun 1998. Sebenarnya saya datang ke SIP karena saya membutuhkan susu formula untuk anak-anak saya. Di saat harga susu melambung tinggi, SIP menjual susu dengan harga murah. Setiap berkunjung, saya selalu bertemu dengan perempuan-perempuan lain yang bernasib sama. Kami lalu sering berbagi cerita tentang kondisi masing-masing.
Di SIP pula saya bertemu dengan Gadis Arivia, Karlina Leksono, Myra Diarsi, dan Ciciek Farha yang merupakan para aktivis perempuan. Semakin lama saya beraktivitas di SIP, semakin terlihat bahwa perempuan adalah warga kelas dua yang mengalami kekerasan, pelecehan, beban ganda, dan berbagai masalah baik di keluarga maupun di lingkungannya. Saya percaya Tuhan menciptakan perempuan setara laki-laki yang sama-sama harus dihormati. Namun perempuan-perempuan terdekat saya saat itu selalu didiskriminasi dan dilumpuhkan lingkungan patriarkis.
Cerita ini selengkapnya dapat dibaca pada buku “She Builds Peace Indonesia: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara”
