Haniah Merajut Kekuatan dari Pulau Terluar

Kekuatan yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kelemahan yang terorganisir. — dengan memberdayakan perempuan, masyarakat desa ikut berdaya

Haniah

Kira-kira begitu jawaban Haniah ketika ditanya mengapa ia berinisiatif melakukan pendampingan desa di wilayah terluar kabupaten Pangkep (Panjakene dan Kepulauan), Sulawesi Selatan, selama lima tahun terakhir.

Haniah bercerita, masyarakat di sana harus memiliki genset agar dapat menikmati listrik yang beroperasi hanya di waktu-waktu tertentu. Sebagian wilayah malah tidak dialiri listrik sama sekali. Karena aksesnya yang jauh, harga kebutuhan pokok masyarakat juga sangat mahal. Hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan masyarakat memanfaatkan sumber daya. Belum lagi akses pendidikan. Alhasil kemiskinan dan pendidikan menjadi masalah utama sekaligus menjadi penyebab tingginya angka perkawinan anak yang berujung berkelindannya masalah-masalah lain.

Melihat kerentanan dan juga kesulitan pada masyarakat pulau itulah yang kemudian menggugah Haniah. Bertahun-tahun terjun menjadi pekerja sosial membuatnya tidak bisa diam saja melihat ketidakadilan. Haniah pun memutuskan membantu penguatan masyarakat, setidaknya merubah kerangka pikir masyarakat pulau supaya lebih maju dan lebih mandiri melalui pemberdayaan perempuan dan anak.

 

Mendobrak Budaya Makassar

Keluar zona nyaman sepertinya memang sudah menjadi kebiasaan dan karakteristik Haniah. Pasalnya, sejak belia Haniah dikenal dengan penampilannya yang tomboy dan tidak bisa diam. Perempuan kelahiran Makassar, 7 November 1975 ini dibesarkan dalam keluarga dengan latar belakang Nahdlatul Ulama (NU) dan budaya Makassar yang sangat patriarkis. Perempuan masih dianggap makhluk domestik yang menjadi istri dan ibu saja. Tak heran kakak-kakak perempuannya kebanyakan menikah di usia anak dan pendidikannya hanya sampai SMP.

Namun, menjadi anak ke 11 dari 12 bersaudara nampaknya memberikan berkah tersendiri bagi Haniah. Dia bercerita, kakak pertama sampai yang ketujuh tidak melanjutkan sekolah karena budaya patriarki tadi. Nasib baik, saudara urutan setelahnya melanjutkan sekolah, termasuk Haniah. Kondisi tersebutlah yang membuat Haniah dapat melakukan perbandingan dan meyakinkan orang tuanya agar memberikannya kepercayaan untuk beraktivitas lebih banyak di luar rumah. Perubahan zaman dan banyaknya cerita reflektif yang diterima orang tuanya akhirnya mampu meyakinkan mereka untuk memberikan kepercayaan kepada putrinya.

Cerita ini selengkapnya dapat dibaca pada buku “She Builds Peace Indonesia: Kisah-Kisah Perempuan Penyelamat Nusantara”

Praktik Baik Lainnya

IMG_0389
Sucik Nawati: Yang Minoritas yang Merangkul, Menggerakkan Warga
Attahiria
Pengalaman Uci Menguatkan Masyarakat bersama PW Fatayat NU Sulawesi Selatan
Andi Sri W
Titik Balik Hidupku: Menanggalkan Belenggu Diri dan Sesama Perempuan
IMG_0384
Haniah Merajut Kekuatan dari Pulau Terluar
IMG_0392
Piping Wiyana Mengajak Perempuan Cintai Diri
IMG_0381
Menguatkan diri dan Korban Terorisme Yang Terstigma
IMG_0385
Awalnya Terpicu Ibu, Kudampingi Korban KDRT dan Kekerasan Seksual