Menemukan Narasi Keagamaan Ramah Perempuan dalam Wajah KUPI

Tafsir agama seringkali dijadikan alat untuk memperoleh manfaat bagi sebagian orang atau mendominasi salah satu pihak, dan salah satu yang paling rentan ialah perempuan. Tafsir ayat yang mengglorifikasi poligami, menggambarkan kepatuhan mutlak pada suami, atau membatasi antar umat beragama berinteraksi, seringkali dipahami sebagai kebenaran hakiki. Padahal, tidak satupun agama mengajarkan penindasan, kekerasan, atau kebencian di muka bumi. Tafsir berasal dari akal pikiran makhluk dengan segala keterbatasannya, dan tentu sangat mungkin kekeliruan dan kesalahpahaman terjadi.
Setiap agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan dan kemaslahatan bagi alam semesta. Hanya saja, tafsir agama yang dimaknai oleh sebagian orang dengan maksud mempolitisasi agama dan cara pemaknaan yang sebatas tekstual, justru memberikan citra buruk pada agama tersebut. Tak jarang dan tak sedikit mayoritas kelompok yang terdampak ialah perempuan. Menjawab problema demikian, lantas maka lahirlah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) *insert link ke website (Beranda – KUPI) lahir.
KUPI adalah jawaban dari kegelisahan terhadap budaya patriarkis dan misoginis, serta pandangan keagamaan yang eksklusif. Menghadirkan tafsir keagamaan yang ramah terhadap perempuan dan terbuka dengan kelompok yang berbeda. Kali pertama diselenggarakan pada tahun 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy Cirebon, KUPI membahas 3 isu mengenai kekerasan seksual, pencegahan pernikahan anak atau dini, dan kerusakan lingkungan dalam konteks ketimpangan sosial. Dari musyawarah keagamaan yang KUPI selenggarakan menghasilkan 3 fatwa, yakni;
Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, baik itu di luar nikah maupun sudah menikah hukumnya haram;
Pencegahan terhadap pernikahan anak atau pernikahan dini yang menimbulkan kemudharatan hukumnya wajib; dan
Negara wajib menghentikan segala bentuk pembangunan yang menimbulkan kerusakan ekosistem dan sosial, serta memberi sanksi tegas terhadap perusak lingkungan.
Di tahun 2022, KUPI kembali mengadakan musyawarah keagamaan yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Jepara, membahas 5 isu terkait perlindungan perempuan dari pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP), perlindungan perempuan dari pemaksaan perkawinan, pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan dan keselamatan perempuan, peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama, dan perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan. Dari 5 isu di atas, KUPI menghasilkan fatwa dan pandangan keagamaan yang bisa diakses melalui link berikut (Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia Ke-2 – Kupipedia). Fatwa dan produk KUPI lainnya yang bisa diakses di website KUP atauI Kupipedia *insert link . Kupipedia (Kupipedia) . Fatwa-fatwa KUPI ini dapat mencegah terjadinya konflik-konflik sosial di masyarakat.
Selain itu, Fatwa-fatwa KUPI ini menjadi angin segar khususnya bagi perempuan karena hak-haknya yang selama ini terpinggirkan dengan dalih agama dapat dipatahkan. Kehadiran KUPI dengan membawa misi kenabian, mengangkat derajat perempuan serta mengupayakan keamanan dan kemaslahatan bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya. Perspektif perempuan yang secara eksplisit tersemat pada nama KUPI adalah komitmen yang dipegang teguh untuk merebut tafsir agama yang saklek. Bukan merujuk pada jenis kelamin, tetapi sudut pandang atau perspektif yang digunakan. Di samping itu, KUPI juga memperluas pemaknaan ‘ulama’ tidak hanya sempit dimaknai sebagai ‘tokoh agama’, melainkan ‘orang yang berilmu’ seperti ilmuwan, akademisi, aktivis, tenaga ahli, dan lain sebagainya. Sehingga, pandangan keagamaan yang dihasilkan dapat sesuai dengan konteks yang ada.[]
Potret Perempuan Penggerak Perdamaian dalam She Builds Peace

Kisah perempuan penggerak perdamaian dan kesetaraan di akar rumput tidak banyak terdengar dan terlihat. Padahal ada banyak praktik baik yang dilakukan sejalan dengan adopsi DK PBB 2250 1325 tentang Women, Peace, and Security. Hal ini memperkuat bahwa isu WPS tidak hanya mencakup isu-isu global dan nasional, tetapi juga isu-isu yang dihadapi masyarakat lokal. Persoalan yang dibahas di tingkat nasional dan global tidak akan lengkap tanpa tersampainya informasi dari dan menuju lokal.
She Builds Peace hadir sebagai media yang khusus mendokumentasikan dan mendorong perempuan terlibat aktif dalam proses perdamaian di lokal, nasional, hingga global. Dikemas dengan gaya milenial, She Builds Peace hadir untuk memberikan inspirasi dan pengenalan WPS dengan mudah dan asyik untuk anak muda. Dengan adanya pendokumentasian perempuan penggerak perdamaian di akar rumput juga dapat memotivasi, mendorong perempuan-perempuan lainnya untuk terus menyuarakan, mengimplementasikan, dan mengawal pelaksanaan WPS di Indonesia.
Misalnya, bagaimana Ibu Roswin Wuri dari Sekolah Perempuan Mungkudena Sawidago – Palu dapat menciptakan perdamaian melalui kebun sayur.. Begitupun yang dilakukan Ibu An’an Yuliati dari Sekolah Perempuan Tasikmalaya yang juga menjabat sebagai Kepala P2TP2A mencegah korban kekerasan dinikahkan oleh pelaku melalui pendekatan peacebuilding menggunakan dialog. Atau cerita Ibu Wiwik yang berupaya merebut keterwakilan perempuan di pemerintahan desa untuk perlindungan semua. Dan masih banyak cerita-cerita perempuan penggerak perdamaian dan kesetaraan di akar rumput lainnya yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai WPS yang didokumentasikan melalui media She Builds Peace Indonesia di platform YouTube Shebuildspeace Indonesia atau website https://shebuildspeace.id/. Dokumentasi gerakan perempuan akar rumput ini amat penting sebagai bukti agensi perempuan dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan di masyarakat. Kisah lengkap perempuan penggerak perdamaian dapat diakses melalui link di bawah ini:
Membangun Resiliensi Komunitas melalui Peran Perempuan (Desa Damai, dan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak)

Keterlibatan perempuan dalam pembangunan nasional menjadi penting dalam agenda Women, Peace, and Security dimana menekankan pada partisipasi, pencegahan, penanganan dan pemberdayaan.
Berangkat dari pilar-pilar inilah terbentuk kelompok-kelompok perempuan yang bergerak untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan. Di tingkat nasional, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mendorong implementasi WPS melalui gagasan pembentukan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) [Sumber].
Gagasan ini mengintegrasikan perspektif gender dan hak anak ke dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa, yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan. Berangkat dari jumlah penduduk desa sebesar 43% dari 270 juta penduduk Indonesia (BPS, 2020), dan sekitar 49,5%-nya adalah perempuan, 30,1%-nya adalah usia anak (di bawah usia 18 tahun), maka mereka, dengan total 65% akan menjadi modal besar dalam pencapaian kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, termasuk SDGs yang dimulai dari masyarakat desa.
Selain itu, ada juga Desa Damai (Peace Village) yang diinisiasi oleh Wahid Foundation bekerjasama dengan berbagai stakeholder lokal, nasional, maupun internasional, berfokus pada pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dengan menempatkan perempuan sebagai aktor utama, Desa Damai menyuguhkan model peran perempuan dalam mempromosikan kohesi dan ketahanan sosial untuk memupuk perdamaian di lingkungan keluarga, masyarakat dan pemerintah lokal. Melalui pendekatan pemberdayaan ekonomi, perempuan dapat menjadi mandiri secara ekonomi, berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan bersama dan mengembangkan dengan kreatif narasi-narasi perdamaian.
Reflective Structured Dialogue, Cara Efektif Melihat dengan Kacamata Korban

Mewujudkan perdamaian dan keamanan bagi perempuan atau kelompok rentan lainnya akan mudah jika mampu meletakkan kaki pada sepatu yang sama. Menaruh empati pada kondisi seseorang. Penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak sampai akarnya, bahkan seringkali memberikan dampak buruk yang lebih besar seperti menikahkan korban dengan pelaku, hanya membuat persoalan menjadi lebih besar.
Reflective Structured Dialogue (RSD) atau Dialog Reflektif dan Terstruktur menawarkan sebuah pendekatan melalui dialog untuk menciptakan ruang aman bagi semua orang, dimana setiap orang memiliki kesempatan berbagi perjalanan dan pandangan pribadi dalam memaknai sebuah nilai atau peristiwa, tanpa khawatir mendapatkan penghakiman dari pihak lain. Dengan 3 prinsip Think, Write, Speak atau Berpikir, Menulis, Berbicara, teknik RSD ini menekankan untuk lebih banyak mendengar agar dapat memahami perbedaan dari apa yang sebetulnya orang lain rasakan.
Ibu An’an Yulianti, ketua Sekolah Perempuan Tasikmalaya, membuktikan kekuatan dialog dapat mengubah pandangan masyarakat untuk tidak lagi menikahkan korban kekerasan seksual dengan pelaku sebagai solusi. Saat itu Ibu An’an dihadapkan dengan sebuah kasus dimana seorang perempuan diperkosa oleh 2 laki-laki. Masyarakat setempat bersepakat untuk menikahkan korban dengan salah satu pelaku. Tidak ingin dampak buruk semakin besar dialami korban, Ibu An’an tidak tinggal diam.
RSD ditawarkan untuk memperoleh solusi yang lebih tepat. Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan perwakilan keluarga berkumpul dalam ruang dialog. Dengan sejumlah aturan seperti menjadi diri sendiri tanpa mengenakan atribut jabatan atau institusi tertentu, tidak menyela atau menghakimi saat orang lain berbicara atau reaktif saat mendengarkan statement yang tidak sependapat, menjaga kerahasiaan, mendapatkan kesempatan berbicara yang sama durasinya, dan mendengarkan dengan aktif selama orang lain berbicara. Aturan-aturan ini diberlakukan agar dialog dapat berjalan lancar dan menjunjung tinggi sikap menghormati perbedaan.
Dari proses mendengarkan dan berbicara dari hati ke hati, akhirnya berbuah empati. Solusi tidak lagi diambil secara sepihak atau melanggengkan praktik buruk atau sistem yang berlaku di masyarakat. Namun, masyarakat akhirnya mampu melihat suatu peristiwa dengan menggunakan kacamata korban. Prinsip RSD dengan sentuhan tangan dingin perempuan ini berhasil membuktikan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk memberikan solusi yang berpihak pada korban serta menciptakan ruang aman dan nyaman di masyarakat, khususnya bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya. Info selengkapnya terkait RSD dapat diakses melalui Modul RSD pada link ini.
Kolaborasi Multi Pihak dalam Implementasi WPS dalam Digital Review dan Localizing RAD P3AKS

Implementasi Women, Peace, and Security di Indonesia dikemas dalam regulasi negara berupa Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS). Dalam mendorong implementasi RAN P3AKS di lokal, daerah, maupun nasional, penting melibatkan lebih banyak aktor, termasuk organisasi masyarakat sipil di dalamnya. Publik juga harus tahu sejauh mana perkembangan implementasi RAN P3AKS ini dan bagaimana regulasi tersebut berpengaruh pada perubahan sosial, khususnya terhadap perempuan dan anak.
Dalam menjaga keberlanjutan dan akuntabilitas implementasi RAN P3AKS kepada publik, AMAN Indonesia didukung oleh Kemenko PMK, Kemenkopolhukam, dan KPPPA menginisiasi adanya Nasional Digital Rreview, sebuah Platform Konsultasi Digital Nasional untuk mereview pelaksanaan RAN P3AKS. Melalui konsultasi ini juga bisa menjaring lebih banyak aktor untuk berkolaborasi dalam implementasi WPS di Indonesia.
Kolaborasi multi pihak lainnya tergambarkan dalam localizing RAN P3AKS di sejumlah daerah melalui Rancangan Aksi Daerah Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Konflik Sosial (RAD P3AKS). Terhitung di tahun 2023, 4 daerah telah memiliki Pergub RAD P3AKS, yakni Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Lampung. 4 daerah lainnya masih dalam proses pengawalan yang dilakukan baik dari pemerintah maupun lembaga masyarakat sipil yang fokus terhadap isu perempuan di Jawa Tengah, Maluku, Sulawesi Selatan, dan NTB. Keterlibatan multi aktor dalam mengawal implementasi WPS di Indonesia melalui RAN P3AKS ini menunjukkan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya isu perempuan dan anak sebagai isu bersama untuk mencegah dampak yang lebih besar dari konflik sosial terhadap perempuan dan anak.
Sekolah Perempuan Perdamaian

Komitmen mewujudkan masyarakat yang damai, mandiri, sejahtera dan adil gender melalui peran aktif dan bermakna perempuan di dalamnya tercermin dalam gerakan sosial yang dilakukan oleh Sekolah Perempuan Perdamaian yang digagas AMAN Indonesia. Tersebar di berbagai daerah di Pulau Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat, di tahun 2023 sekitar 43 sekolah perempuan mendorong peran aktif perempuan akar rumput dan melakukan sejumlah pemberdayaan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas yang berkaitan dengan WPS, sehingga dapat memberikan perubahan sosial dan kultural.
Sekolah Perempuan Catur Manunggal Temanggung – Jawa Tengah memberikan warna baru dalam perayaan Nyadran yang dilakukan tiap tahunnya di Dusun Krecek dan Gletuk, Desa Getas, Kec. Kaloran, Kab. Temanggung – Jawa Tengah. Sebelumnya, tradisi Nyadran hanya dilakukan untuk menghormati para leluhur dengan mengadakan makan bersama di makam umat Islam dan Budha yang berada di satu tempat. Hanya nilai-nilai perdamaian yang tertanam, “Orang yang meninggal saja bisa rukun, kita yang masih hidup harus bisa hidup rukun berdampingan dengan kelompok berbeda.”
Semenjak ada intervensi Sekolah Perempuan Catur Manunggal, sekitar 5 tahun terakhir ini, banyak perubahan dalam perayaan Nyadran. Misalnya, nama perayaan menjadi “Nyadran Perdamaian” agar menegaskan nilai-nilai yang ditanam tidak hanya tradisi dan budaya saja, tetapi ada nilai-nilai toleransi yang dipraktekkan dan diteladankan masyarakat setempat.
Selain itu, perayaan Nyadran Perdamaian juga menonjolkan peran aktif dan bermakna perempuan. Kirmi, ketua Sekolah Perempuan Catur Manunggal, menjadi ketua panitia Nyadran Perdamaian di tahun 2022. Agensi perempuan tidak lagi sebatas di ruang domestik, melainkan turut andil di ruang publik. Di tahun-tahun selanjutnya, perempuan selalu dilibatkan pada posisi strategis dalam persiapan dan pelaksanaan Nyadran Perdamaian.
Diadakannya sejumlah kelas dengan berbagai tema, membuat Nyadran Perdamaian semakin dilirik masyarakat lokal, antar daerah, bahkan mancanegara. Misalnya, kelas meditasi, kelas sesaji, kelas dolanan anak, kelas menanam pohon, dan kelas perempuan bertutur. Perayaan tradisi yang sudah dilakukan para pendahulu ini dilestarikan, bahkan ditingkatkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Inovasi ini hadir semenjak ada intervensi dari Sekolah Perempuan yang mana membuktikan bahwa kekuatan kolektif perempuan mampu memberikan perubahan sosial dan kultural untuk membangun ketahanan masyarakat.
Forum Perempuan, Bergerak Bersama Kepemimpinan Perempuan

Sejak 2007, AMAN telah menginisiasi lahirnya Sekolah Perempuan Perdamaian (SP) sebagai inkubator menciptakan dan menempa agensi dan kepemimpinan perempuan yang mengakar di 43 komunitas yang tersebar di 27 kabupaten dari 7 provinsi.
AMAN secara rutin telah memperkuat kapasitas kepemimpinan perempuan di SP melalui lokakarya peningkatan kapasitas, pelatihan, sekolah reguler perempuan untuk perdamaian, dan forum pertukaran dengan organisasi masyarakat sipil perempuan dan kelompok perempuan lainnya. Kini, SP menjadi mesin penggerak pemberdayaan perempuan dan budaya damai yang peka pada kelompok-kelompok marginal.
Hadirnya Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017 mengenai Implementasi SDGs menjadi faktor penyubur proses pemberdayaan perempuan di tingkat komunitas, khususnya memperkuat partisipasi perempuan. SDGs Desa bisa menjadi ‘alat tagih’ sekaligus arena untuk memperkuat agenda perempuan, termasuk meningkatkan partisipasi mereka dalam pembangunan berkelanjutan.
Dalam memanfaatkan peluang ini, kemitraan dengan sejumlah kabupaten diantaranya adalah Wonosobo, Temanggung, Yogyakarta, Jember, Lumajang, dan Tasikmalaya dilakukan untuk memperkuat Forum Perempuan, yang berfungsi sebagai ruang partisipasi perempuan desa.
Dalam pembentukan Forum Perempuan inilah SP terlibat aktif. Bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak (DP3A) dan pemangku kepentingan daerah lainnya melahirkan Forum Perempuan sebagai ruang strategis penguatan agenda perempuan dalam implementasi SDGs Desa, terutama terkait tujuan 5 kesetaraan gender dan 16 desa damai dan berkeadilan.
Forum Perempuan pertama di Wonosobo dan Temanggung diselenggarakan pada bulan Maret 2022. Di Wonosobo, Forum Perempuan dihadiri oleh 42 orang perwakilan kepala desa dan PKK dari 10 desa di Kabupaten Wonosobo, perwakilan kecamatan, perwakilan dinas sosial, dinas Pendidikan, dinas Kesehatan, dinas PPA, Organisasi Perempuan, dan NGO yang fokus pada isu perempuan. Sedangkan Forum Perempuan di Temanggung dihadiri 48 orang (perempuan 42, laki-laki 6), mereka juga perwakilan dari desa dampingan AMAN Indonesia, desa dampingan Dinas PPA perwakilan kecamatan, Dinas Sosial, Sekolah Perempuan Perdamaian, Organisasi Perempuan dan NGO atau Lembaga sosial.
Di kabupaten dan kota lainnya, pihak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan tahapan dengan memulai adopsi model SP sebagai affirmative action mencetak pemimpin perempuan. Tim penggerak PKK Kabupaten Lumajang Gerakan Kesejahteraan Keluarga Lumajang mengadopsi Sekolah Perempuan desa Ranupani dengan memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang akan diformalkan dalam perjanjian kemitraan. Sekolah Perempuan dipercaya akan menjadi motor partisipasi perempuan dalam implementasi SDGs Desa terutama Pembangunan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak serta Desa Tanggap Budaya.