Sejarah Adopsi WPS di Indonesia
Indonesia merupakan negara kedua di Asia Tenggara yang mengadopsi Resolusi 1325 tentang Perempuan (Women), Perdamaian (Peace) dan Keamanan (Security), atau disingkat WPS. Belajar dari kesuksesan Filipina, Indonesia berhasil mengadopsi Resolusi 1325 pada tahun 2014 melalui Peraturan Presiden No. 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial.
Meskipun memakan waktu tujuh tahun dalam bernegosiasi, RAN WPS atau dikenal dengan Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) Indonesia dianggap paling inklusif dalam prosesnya. Sebuah kegiatan bernama NAP (National Action Plan) Academy 2014, diselenggarakan oleh Georgetown University berkolaborasi dengan Inclusive Security, mengadakann pertemuan 10 negara yang memiliki NAP. Dalam pertemuan tersebut, NAP Indonesia dianggap selain inklusif dalam proses pembentukannya, juga keterlibatan multi aktor dalam tim pelaksana, dianggap menginspirasi adanya kerjasama antara pihak pemerintah dan masyarakat sipil. RAN Indonesia dianggap memiliki political commitment yang tinggi karena dikeluarkan dengan Peraturan Presiden dan sejumlah budget yang khusus dialokasikan untuk implementasi RAN P3AKS.
Sayangnya, RAN Indonesia belum dilengkapi dengan sistem monitoring, sehingga tidak begitu jelas implementasinya. Pada tahun 2020, AMAN Indonesia didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), melakukan Digital Review untuk menilai implementasi RAN P3AKS.
Hasil dari Digital Review tersebut dipakai sebagai baseline mengeluarkan RAN P3AKS generasi kedua melalui Peraturan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Permenko PMK) No. 5 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial Periode 2020-2025. Inilah sebuah penanda bahwa generasi kedua WPS di Indonesia dimulai.
Saat ini, RAN P3AKS dijalankan di tingkat nasional dan provinsi dengan dukungan AMAN Indonesia, UN Women and sejumlah donor agensi. Sejarah tentang Adopsi WPS di Indonesia bisa dibaca secara lengkap melalui buku “Perempuan dan Perdamaian: Adopsi Resolusi 1325 di Indonesia” yang bisa anda baca dan download di sini.
Regulasi Terkait WPS di Indonesia
Dalam rangka menerjemahkan agenda WPS di Indonesia, sejumlah regulasi dikeluarkan oleh pemerintah baik di tingkat nasional maupun lokal. Berikut ini regulasi berkaitan dengan agenda perempuan, perdamaian dan keamanan (WPS) di tingkat nasional sebagai berikut:
Program
Jika pada pelaksanaan RAN P3AKS yang pertama sangat didominasi dengan program pendampingan korban dan pencegahan, pada generasi kedua RAN P3AKS ini selain melanjutkan kerja-kerja jangka panjang di periode sebelumnya, juga berkaitan dengan pencegahan konflik dan kekerasan berbasis gender, penanganan dan pemulihan korban kekerasan berbasis gender, pemberdayaan ekonomi dan partisipasi perempuan, serta penguatan hak anak.
Saat ini, ada sejumlah isu-isu baru yang dimasukkan dalam RAN P3AKS yaitu:
Isu intoleransi yang bermuara pada paham radikal terorisme;
Sengketa lahan antar kelompok masyarakat, masyarakat dengan pelaku usaha dan masyarakat dengan negara, termasuk di dalamnya pengakuan atas hak-hak adat oleh negara;
Perilaku tindak kekerasan dalam masyarakat, khususnya kekerasan terhadap perempuan dan anak; dan
Merebaknya perilaku penyebaran berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian dengan memanfaatkan teknologi informasi dan sosial media yang semakin terbuka dan canggih.
Pelaksanaan RAN P3AKS yang kedua masih menggunakan tiga pilar intervensi sebagaimana penjelasan di bawah ini:
Pencegahan Konflik
Pilar pencegahan konflik memfokuskan pada upaya membangun kesadaran publik tentang pencegahan konflik dan pencegahan kekerasan berbasis gender, penguatan kohesi sosial di masyarakat dengan memperkuat budaya damai, serta memperbanyak ruang perjumpaan di akar rumput. Pada pilar inilah pembentukan Rencana Aksi Daerah Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAD P3AKS), di sejumlah wilayah yang pernah mengalami konflik dan rawan konflik, memperkuat sekolah ramah anak, kampanye terkait pencegahan konflik, intoleransi dan radikalisme, promosi moderasi beragama dan wawasan kebangsaan, pengembangan desa damai, literasi media dan sebagainya.
*Lampiran Dokumen Rencana Kerja Pilar I dapat diunduh melalui tombol di bawah ini. [Matrix Pilar]
Penanganan Konflik dan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual
Pada pilar ini, RAN P3AKS menekankan pada terbentuknya sistem pengaduan dan tanggap cepat penanganan perempuan dan anak korban konflik sosial dengan melakukan peningkatan kapasitas pendampingan kasus, pemberian layanan komprehensif untuk korban (layanan medis, psikososial, hukum dan lainnya), termasuk pendampingan rehabilitasi pada korban perempuan dan anak.
*Lampiran Dokumen Rencana Kerja Pilar II dapat diunduh melalui tombol download di bawah ini. [Matrix Pilar II]
Pemberdayaan dan Partisipasi Perempuan dan Anak
Program yang dilakukan pada pilar ini mencakup penguatan literasi media, pendidikan Pancasila, dan penguatan forum anak dan perempuan untuk meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Pilar ini juga memperbanyak dialog dan penguatan kapasitas perempuan mediator dengan training, pengambangan sekolah perempuan di wilayah konflik, penyuluhan anti kekerasan pada calon keluarga baru dan masyarakat.
*Lampiran Dokumen Rencana Kerja Pilar III dapat diunduh melalui tombol download di bawah ini. [Matrix Pilar III]
Tim Pelaksana
Tim pelaksana RAN P3AKS adalah kelompok yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan yang tercantum dalam Rencana Aksi Nasional tersebut. Tim ini terdiri dari berbagai pihak yang terlibat dan memiliki peran khusus dalam upaya perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konteks konflik sosial.
Adapun anggota tim pelaksana meliputi:
- Instansi Pemerintah: Tim dapat melibatkan perwakilan dari berbagai kementerian atau lembaga pemerintah yang memiliki tanggung jawab terkait perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konteks konflik sosial. Misalnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
- Lembaga Non-Pemerintah: Tim pelaksana juga dapat melibatkan perwakilan dari organisasi non-pemerintah yang memiliki pengalaman dan keahlian dalam bidang perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak, terutama dalam situasi konflik sosial. Misalnya, organisasi advokasi hak perempuan, lembaga riset, lembaga pendidikan, dan lembaga kemanusiaan.
- Akademisi dan Pakar: Melibatkan akademisi dan pakar yang memiliki pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang konflik sosial dan isu-isu terkait perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak. Mereka dapat memberikan wawasan dan rekomendasi berdasarkan penelitian dan pengalaman di lapangan.
- Organisasi Internasional: Tim pelaksana juga dapat bekerja sama dengan organisasi internasional yang memiliki mandat dan komitmen untuk mendukung perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam situasi konflik sosial. Misalnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi regional, dan lembaga donor internasional.
- Masyarakat Sipil: Melibatkan perwakilan dari masyarakat sipil, termasuk kelompok advokasi perempuan, organisasi lokal, lembaga keagamaan, dan komunitas yang terkena dampak konflik sosial. Partisipasi masyarakat sipil penting untuk memastikan kebijakan dan program yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.
Tim pelaksana memiliki tugas dan tanggung jawab untuk merencanakan, mengkoordinasikan, melaksanakan, dan memantau kegiatan yang tercantum dalam Rencana Aksi Nasional. Mereka juga bertanggung jawab untuk mengumpulkan data, melakukan analisis situasi, dan menyusun laporan mengenai perkembangan implementasi rencana aksi.
Secara detail berikut adalah susunan tim pelaksana RAN P3AKS di tingkat nasional.