CSO Side Event: Building Resilient Communities, dari Masyarakat Sipil untuk ASEAN 

Indonesia dan Filipina adalah dua negara di kawasan Asia Tenggara yang telah mengadopsi resolusi DK PBB 1325 terkait agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan atau Women, Peace, and Security (WPS). Hal ini tidak terlepas dari keterlibatan aktif dan bermakna dari masyarakat sipil. Ketika Filipina mengadopsi agenda WPS pada tahun 2010, Indonesia sedang dalam proses negosiasi untuk memastikan bahwa semua pihak memiliki pemahaman bersama tentang pentingnya mengadopsi Resolusi 1325 di Indonesia. Agenda WPS ini tidak hanya berlaku untuk negara-negara yang sedang berperang, karena konsep keamanan manusia juga merujuk pada pembangunan masyarakat yang damai.

Untuk mendorong kemajuan dari implementasi agenda WPS hingga tingkat regional, Indonesia memiliki momentum penting di tahun 2023 sebagai penerima mandat Keketuaan ASEAN. Oleh karena itu, berbagai elemen, stakeholders, termasuk sejumlah lembaga masyarakat sipil  mengambil kesempatan emas ini dengan membuat forum CSO Side Event WPS High Level Meeting untuk mendorong isu perempuan, perdamaian, dan keamanan dapat menjadi isu prioritas yang akan dibahas oleh para pemangku kebijakan di tingkat regional.

Diselenggarakan oleh AMAN Indonesia berkolaborasi dengan Migrant Care, The Working Group on Women and PCVE (WGWC), Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention (APPAP), Southeast Asia Women Peacebuilders, Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA), Asia Democracy Network (ADN), dan Southeast Asia Network of Freedom Expression (SAFENet), serta Australian Government melalui Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ 2) turut memberikan dukungan, forum CSO Side Event High Level Meeting ini bertajuk “Building Resilient Communities: Applying Intersectional Perspective in the Regional Plan of Action on Women, Peace, and Security”.

Berlangsung secara hybrid di Yogyakarta, 4-5 Juli 2023, sejumlah perwakilan CSO dari negara anggota ASEAN berkumpul untuk mendiskusikan berbagai isu seputar perempuan, perdamaian, dan keamanan. Lebih spesifik lagi, forum ini menyoroti berbagai persoalan seperti; krisis kemanusiaan di Myanmar, peran perempuan dan anak dalam terorisme, keamanan siber bagi perempuan pembela HAM, perubahan iklim, perlindungan pengungsi, penanganan buruh migran perempuan, pencegahan ekstremisme, dan perlindungan perempuan pembela HAM di dunia digital.

Dalam mempromosikan dan mewujudkan kesetaraan gender, inklusi sosial, serta menghapus kebijakan diskriminatif di tingkat regional, masyarakat sipil juga memiliki peran strategis dalam pencegahan, penanganan konflik, memberikan partisipasi yang bermakna melalui pemberdayaan perempuan dan anak, serta pemulihan korban. Hal ini disampaikan oleh Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan di Rumah Tangga dan Rentan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA RI), Eni Widiyanti.

“CSO Side event ini merupakan agenda yang penting untuk mempertegas bahwa masyarakat sipil memainkan peran strategis dalam memajukan agenda WPS baik di tingkat nasional maupun regional. Masyarakat sipil mampu menghubungkan dan membawa suara-suara dari akar rumput untuk menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan baik di tingkat nasional, regional, bahkan global,” terangnya saat memberi sambutan di acara CSO Side Event.

Masyarakat sipil memiliki kisah-kisah yang belum didengar dan terungkap di kawasan, seperti Krisis Myanmar, pelanggaran hak asasi manusia yang dialami buruh migran, kekerasan berbasis gender online, instrumentalisasi tubuh perempuan dalam ekstremisme kekerasan, ketahanan pangan, krisis iklim yang lebih berdampak pada kelompok rentan, pembatasan kebebasan berekspresi dan beragama, dan masih banyak lagi.

Senyatanya, isu Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan ini memiliki interseksionalitas yang beririsan dengan isu lainnya. Sehingga, CSO Side Event ini menjadi langkah strategis untuk dapat mengangkat untold dan unheard stories ke publik, dan menjadikannya pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.

Selain dari KPPPA, hadir juga secara online Deputi Bidang Kerjasama Internasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Andhika Chrisnayudhanto. ”Dalam konteks radikalisme, ekstremisme kekerasan, dan terorisme, agenda perempuan dan perdamaian menjadi semakin kompleks. Terlebih lagi, perkembangan teknologi, seperti internet dan media sosial, telah mempermudah aktivitas kelompok ekstrimis dan teroris dalam menargetkan kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak,” tegasnya.

Di samping itu, Direktur Eksekutif ASEAN Institute for Peace and Reconciliation, H.E I Gusti Agung Wesaka Puja mengungkapkan penyusunan RPA WPS adalah sebuah kisah sukses dalam membangun perdamaian. ASEAN menunjukkan komitmennya untuk menjaga perdamaian dan keamanan dengan memajukan gender mainstreaming. Meskipun tantangan dari berbagai isu dan konflik internasional masih ada, tetapi partisipasi bermakna dari pemerintah maupun masyarakat sipil terlihat sangat progresif dan masif.

“Perdamaian harus selalu dipupuk di antara anggota ASEAN. Jika kita tidak memperkuat perdamaian, maka upaya untuk membangun budaya demokrasi juga akan terhambat. ASEAN, dengan memperkuat manajemen dan resolusi konflik, serta proses pembangunan perdamaian, menyadari bahwa perdamaian tidak dapat diabaikan. Dan, pelibatan semua aktor penting untuk memperkuat komitmen bersama, yakni implementasi agenda Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan di level regional,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share

KNOWLEDGE-HUB
WPS Indonesia

K-Hub WPS Indonesia adalah platform online yang memberikan informasi singkat tentang perkembangan implementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Women, Peace and Security di Indonesia. Ini merupakan situs web yang dapat diakses oleh publik dan berfungsi sebagai wadah pengetahuan terinstitusionalisasi mengenai Women, Peace, and Security (WPS) di Indonesia.